Banyak Aset Sejarah Tinggal Nama


Negara Wajib Lestarikan Cagar Budaya Sumsel

Banyak Aset Sejarah Tinggal Nama Semua situs cagar budaya yang tersebar di Indonbesia adalah milik negara. Meskipun cagar budaya tersebut berada di satu provinsi. Namun dalam perawatan, pemanfaatan, pelestarian, penelitian, dan sebagainya diserahkan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata ke Balai Arkeologi di beberapa provinsi.

==============================

Di Sumatera, ada beberapa balai yang bertanggung jawab untuk cagar budaya menyebar di beberapa provinsi. Seperti Balai Arkeologi Palembang yang berada di Jl Kancil Putih. Balai tersebut berfungsi sebagai penelitian benda cagar budaya. Misalnya artefak, fitur, ekofak, hingga situs.

Dikatakan Kepala Seksi Purbakala Disbudpar Provinsi Sumsel, A Rapanie Igama, balai tersebut tidak hanya melakukan penelitian benda cagar budaya di Provinsi Sumsel. Namun juga membawahi Jambi, Bengkulu dan Bangka Belitung. “Semua cagar budaya di Indonesia dilestarikan oleh negara. Kita (pemerintah setempat) bisa memanfaatkannya. Yakni memfasilitasi dan promosi cagar budaya dan sebagainya,” tutur dia.

Pihaknya terus berkoordinasi dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi. Kantor balai tersebut berada di Jambi, namun kerja untuk kawasan di Sumsel, Jambi, Bengkulu, dan Bangka Belitung.

Balai tersebut melakukan berbagai kegiatan di antaranya perawatan atau pemeliharaan cagar budaya, perlindungan dan tersedia juru pelihara (jupel) disetiap cagar budaya. Beberapa situs cagar budaya itu di antaranya Candi Bumiayu (Sumsel), Candi Muara Jambi (Jambi), Benteng Malioboro (Bengkulu), dan Situs Tinggihari (Lahat).

“Arkeologi itu adalah kewenangan pusat atau nasional. Di kawasan cagar budaya itu sendiri dari kawasan inti dan kawasan penyangga yang dikelola serta dilindungi oleh Balai Pelestarian dalam perawatannya. Sementara untuk kawasan pengembangan diserahkan ke pemda setempat,” ungkapnya.

Ada beberapa cagar budaya yang ada di Sumsel, namun milik negara. Yakni Kompleks Makam Ki Gede Ing Suro (Palembang), Kompleks Makam Kesultanan Palembang (Palembang), Kompleks Makam Sabokingking (Palembang), Masjid Agung Palembang (Palembang), Kawasan Percandian Bumiayu (PALI), Situs Megalitik Tinggihari (Lahat), Situs Tegurwangi (Pagaralam), Situ Belumai (Pagaralam), dan Benteng Kuto Besak (Palembang).

“Ini berdasarkan dengan Keputusan Menteri No KM.09/PW.007/MKP/2004 yang di dalamnya mengenai penetapan Kompleks Percandian Bumiayu dan situs lainnya yang berlokasi di wwilayah Sumsel sebagai benda cagar budaya, situs, atau kawasan yang dilindungi UU RI No 5/1992,” tukasnya.

Nah, kata Rapanie, Percandian Bumiayu itu memang masuk kawasan Sumsel tepatnya berada di PALI, namun merupakan milik negara yang dilestarikan dan dilindungi. “Masyarakat selama ini hanya salah kaprah. Jambi bukan ingin mengambil pengelolaan kawasan tersebut, melainkan memang tugas dari pusat untuk merawat dan melestarikannya karena memang Percandian Bumiayu itu milik negara,” tandasnya.

Kepala Dinas Budaya Pemuda dan Pariwisata Kabupaten PALI, Rusminaryadin SPd MM mengatakan bahwa Candi Bumiayu tersebut berada di bawah naungan langsung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, dan dikelola dan dirawat BPCB Wilayah Jambi.

“Asetnya bukan punya Kabupaten PALI ataupun Kabupaten Muara Enim,” katanya.

Lebih lanjut dia mengatakan, bahwa pihaknya ke depan berencana untuk melakukan penggalian lebih dalam untuk mencari bentuk asli bangunan Candi Bumiayu ini.

Anggota Komisi IV bidang Kesejahteraan Rakyat DPRD Kota Palembang Subagio Rachmad Santosa mengatakan, banyak aset sejarah Palembang yang kurang mendapat perhatian pemerintah. Termasuk Kampun Kapitan. “itulah kendala kita bersama. Masih banyak aset sejarah kita yang belum terinventarisir dengan baik, sehingga belum dirawat dengan baik,” ucapnya.

Sementara itu, Sumel yang dikenal sebagai Bumi Sriwijaya ini menyimpang banyak aset sejarah. Namun, banyak yang hilang sehingga hanya tinggal namanya saja. (roz/wia/ebi/ce1)

Tak Diperhatikan, Terancam Roboh

Salah satu bangunan lama warisan sejarah yang berada di Palembang adalah Kampung Kapitan. Bangunan zaman Dinasti Ming abad ke-16 silam itu, kini kondisinya memprihatinkan dan teracam roboh. Sementara pemerintah kota dan Provinsi memiliih diam dan tak menyentuh aset sejarah tersebut.

Padahal, bangunan unik terletak menghadap perairan Sungai Musi di 7 Ulu Kota Palembang itu, telah masuk dalam usulan daftar situs cagar budaya Provinsi Sumsel yang harus dilestarikan. “Tidak ada perhatian pemerintah, padahal ini adalah cagar budaya yang menunjukkan Palembang sedari dulu adalah kota yang tinggi toleransinya dan terdiri dari masyarakat yang plural,” kata Mulyadi alias Tjoa Tiong Gi, ahli waris ke-13 Kapitan Tjoa kepada Koran ini, kemarin.

Ia menceritakan berdasarkan cerita dari sang ayah, Tjoa Koklim, leluhurnya Perwira Tjoa datang ke Indonesia pada tahun 1644 M. Awalnya, tidak begitu diterima, namun keadaan menjadi terbalik saat Belanda mulai menjajah. Alih-alih mengusir etnis Tiongkok, Belanda malah memperdayakan tenaganya untuk menjadi mengatur kawasan tersebut. “Bangunan ini duhulunya menjadi pusat administrasi pemerintahan, sebagai kantor juga rumah ibadah,” ungkapnya.

Dijelaskan Mulyadi, jejak keturunan Kapitan Tjoa terputus dari awal dan baru terdata silsilahnya mulai dari keturunan ke-10. Yakni, Kapitan Tjoa Hamsin, Tjoa Hendirik (keturunan ke-11), Tjoa Koklim (12), dan sekarang yang ada adalah keturunan ke-13 (Mulyadi dan saudaranya).

“Dulu terdapat 17 rumah Kapitan Tjoa di atas lahan seluas 20 hektare. Tapi 13 dijual dan tersisa empat saja dengan lahan tersisa satu hektare. Kondisinya juga cukup memprihatinkan, hanya bangunan utama tempat ibadah maih utuh.” (mik/asa/ce1)

Sumber: Sumatera Ekspres, Sabtu, 14 Februari 2015

About Iwan Lemabang
Aku hanya manusia biasa yang tak luput dari salah dan dosa.

Leave a comment